27 Mei 2016

Ketika FHUI Ber-Simposium. Selanjutnya?


Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), bagian Hukum Tata Negara (HTN) di Depok, Selasa, 24 Oktober 2016 menyelenggarakan Simposium bertema: “Kedaulatan Rakyat di dalam UUD NRI Tahun 1945.” Dilihat dari temanya, FHUI yang dalam hal ini bekerjasama dengan Lembaga Pengkajian MPR RI, di mana berhimpun pula beberapa staf pengajar FHUI di dalamnya, kembali menyuarakan pemikiran mereka dalam urun rembuk pemikiran tentang “Kedaulatan Rakyat di dalam UUD NRI Tahn 1945.”


Nara sumber yang ditampilkan sudah tentu banyak sekali. Selain staf pengajar FHUI, seperti RM.AB,Kusuma, hadir pula Margarito Kamis. Sebelumnya  FHUI bekerja sama dengan Komisi Yudisial pada hari Kamis 25 Februari 2016 menyelenggarakan pula Seminar Penguatan Etika Berbangsa dan Bernegara. Sejumlah dekan dan pimpinan perguruan tinggi ikut dalam kegiatan tersebut.

Masih di tahun 2016, Rabu, 27 Januari 2016, di Gedung IASTH Pascasarjana UI, Salemba, Jakarta Pusar,  para cerdik pandai, masyarakat ilmiah lainnya juga disuguhkan seminar tentang  Amandemen UUD 1945  yang diselenggarakan oleh Institut Peradaban  (IP).

Menarik untuk disimak dalam acara di Salemba ini adalah komentar Syaiful  Sulun seorang purnawirawan TNI. Hal ini dikarenakan, ia selalu tegas mengatakan  bahwa UUD  yang sudah empat kali mengalami perubahan itu, bukan lagi UUD 1945 asli , karena rohnya telah tercabut dari akar-akarnya. “Saya berpendapat, UUD 2013 ini, bukan UUD 1945,” tegas Syaiful Sulun. Manurutnya, sekarang hanya Veteran yang konsisten menuntut agar UUD 2013 di amandemen kembali.
Pendapat Syaiful Sulun itu  benar. Ia yang terlibat langsung dalam Forum Bersama, berhasil merumuskan solusi terbaik bagi Bangsa dan Negara  Indonesia, yaitu “Kaji Ulang Perubahan UUD 1945,” yang telah disahkan dan ditandatangani oleh para purnawirawan, antara lain, Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, Jenderal Polisi (Purn) Awaloedin Djamin, Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar, Letjen TNI (Purn) Rais Abin dan para perwira lainnya  pada 28 November 2013. Bahkan jika boleh saya katakan, konsep ini sudah saya baca. Sangat lengkap.
Bagaimana pun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dihapus mengakibatkan Indonesia tidak memiliki visi dan misi ke depan yang jelas. Pemerintah tidak memiliki strategi jangka panjang. Syaiful Sulun menegaskan hal tersebut.  Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) hanya berisikan konsep atau pemikiran dari Presiden terpilih, yang tidak selengkap dan sedalam GBHN. Ganti pemerintah/Presiden, ganti RPJP. RPJP juga tidak memiliki kekuatan hukum seperti GBHN yang disahkan dengan Ketetapan MPR.
Apa yang dikatakan oleh Syaiful Sulun tersebut sesuai dengan kenyataan yang dihadapi oleh bangsa dan negara saat ini. Selain bermasalah di GBHN,  bangsa ini juga sedang menghadapi masalah di dalam hal otonomi daerah.  Sekarang tidak terkendali.  Otonomi daerah yang rancu. Kewenangan Pusat banyak yang teramputasi, sehingga melemahkan kontrol pusat terhadap daerah. Ketidakpatuhan Pemerintah Daerah kepada Pusat membuat peluang terjadinya pengabaian terhadap prinsip-prinsip pengelolaan  Negara Kesatuan. Hal tersebut rawan terhadap infiltrasi dan konspirasi kepentingan asing dan pada gilirannya dapat mengancam kepada NKRI.
Juga di dalam UUD 1945 yang sudah mengalami perubahan sebanyak empat kali ini,   timbul ketidakjelasan dalam sistem pemerintahan. Sistem yang terjadi sekarang adalah bukan  Parlementer tetapi bukan juga Presidensil. Sistem yang rancu tersebut menjadikan kinerja Pemerintah cq Presiden  kurang efektif. Kedudukan DPR pada kenyataannya  semakin lebih kuat dari Presiden, kondisi ini dimanfaatkan untuk  berburu kekuasaan serta  memaksakan kehendak. Sistim ini justru  tidak menjunjung prinsip  “check and  balance”, korupsi di semua lini semakin meraja lela.
Pernyataan Syaiful Sulun tersebut memperoleh dukungan dari Margarito Kamis. Didalam makalahnya, Margarito menjelaskan  panjang lebar mengenai perubahan UUD di berbagai negara.  Ia menjelaskan, masuk akal mendifinisikan kembali MPR sebagai organ yang memiliki kewenangan membuat GBHN, setidaknya untuk lima tahun. UUD seharusnya menjadi haluan, bersifat amat abstrak. Pada titik itu cukup masuk akal untuk menyediakan panduan praktis pembangunan, setidaknya  untuk lima tahunan.
“Kembalikanlah kewenangan MPR memilih Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR,” tegas  Margarito Kamis di dalam makalahnya.
Bangsa Indonesia masih menunggu  keinginan baik pemerintah Indonesia untuk meng-amandemen kembali UUD 1945. Terlepas dari  pengelompokan masyarakat sekarang ini, yang menurut Syaiful Sulun terdiri dari,  kelompok yang menghendaki  bangsa ini kembali ke UUD  1945 yang asli, di samping adanya  kelompok yang menyatakan  UUD 1945 hasil perubahan  sudah cukup baik  dalam menciptakan suasana  demokratis dan kreatifitas masyarakat.






21 Mei 2016

Dasman Djamaluddin : Harmoko:"Menjadi Wartawan Merdeka, Awal Cita-Cita....

Dasman Djamaluddin : Harmoko:"Menjadi Wartawan Merdeka, Awal Cita-Cita....: Man,” ujar Pak Diah (Burhanudin Muhamad/BM Diah) kepada saya, sekitar tahun 1993. Waktu itu, saya baru saja menyelesaikan buku beliau:”But...

10 Mei 2016

Harmoko:"Menjadi Wartawan Merdeka, Awal Cita-Cita"


Man,” ujar Pak Diah (Burhanudin Muhamad/BM Diah) kepada saya, sekitar tahun 1993. Waktu itu, saya baru saja menyelesaikan buku beliau:”Butir-Butir Padi BM Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman” (Jakarta: Pustaka Merdeka 1992). Selanjutnya dikatakan,“Moko (Harmoko) ingin bertemu Anda.”  Entah apa sebabnya, saya tidak pernah menemui Pak Harmoko. Baru pertamakalinya saya berjumpa beliau  di Situ Gintung, Ciputat,  di acara Reuni Awak Pers Grup Merdeka Jalan AM Sangaji 11 Jakarta Pusat pada hari Minggu, 24 April 2016.

Di acara itu saya ceritakan yang dikatakan Pak BM Diah kepada Pak Harmoko. Ia  membalasnya dengan senyuman. Selama percakapan, meski dengan nada pelan, di usia 77 tahun tersebut, daya ingat Pak Harmoko masih tajam. Sangatlah wajar jika di usia itu, ia bicara pelan-pelan di kursi rodanya. Bahkan Pak Harmoko sangat suka lagu-lagu kenangan masa lalu. Dua kali beliau memanggil saya agar dipesankan dua buah lagu kesukaannya. Ia senang dan terhibur saat mendengarkan.

Kalau kita membaca buku:”Aku Wartawan Merdeka,” terdapat tulisan Pak Harmoko di halaman 175-202 yang jelas-jelas mengatakan keinginannya setelah selesai SMA bergabubg dengan Grup Merdeka pimpinan BM Diah. Meski awalnya ditempatkan sebagai korektor, tetapi dirinya merasa puas dan sangat tekun mengoreksi berbagai tulisan-tulisan sebelum naik cetak. Lama kelamaan tercapai juga impinannya menjadi wartawan Merdeka.

“Di mata saya, setiap tokoh memiliki karakter tersendiri. Dari Pak Diah, saya banyak belajar tentang nasionalisme dan keberanian dalam berpolitik. Seringkalai saya terlibat diskusi dengan Pak Diah. Analisanya tajam,” ujar Pak Harmoko di halaman 182.

Suatu ketika di dalam rapat redaksi, BM Diah melontarkan pertanyaan.  Siapa yang bisa membuat karikatur? Tidak seorang pun menjawab, dan Pak Diah menunjuk Harmoko untuk membuat karikatur. “Saya dipercaya Pak Diah untuk membuat karikatur. Selain menyalurkan bakat melukis, karikatur bisa saya pakai sebagai ‘pisau tajam’ untuk melawan misi politik PKI,” komentar Harmoko di halaman 187.

Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa Harmoko yang lahir di Patianrowo, Nganjuk, Jawa Timur, 7 Februari 1939, awal kariernya menjadi wartawan bermula di Grup Merdeka pimpinan BM Diah. Seperti BM Diah sebagai seorang wartawan dan politikus, Harmoko demikian juga. Bahkan seakan-akan beriringinan dengan BM Diah. BM Diah menjadi Menteri Penerangan RI lalu kemudian diikuti Harmoko.

Bedanya, jika BM Diah berhasil juga sebagai Duta Besar, maka Harmoko berhasil menjadi Ketua MPR pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Liku-liku kehidupan Harmoko sebagai wartawan tidak hanya di Harian Merdeka, tetapi juga di media lain, karena pada tahun 1964 ia bekerja juga sebagai wartawan di  Harian Angkatan Bersenjat, dan kemudian Harian API pada 1965. Pada saat yang sama, ia menjabat pula sebagai pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa, Merdiko (1965). Pada tahun berikutnya (1966-1968),  ia menjabat sebagai pemimpin dan penanggung jawab Harian Mimbar Kita. Pada tahun 1970 bersama beberapa temannya, ia menerbitkan harian Pos Kota.

Di bidang politik, sebagai Menteri Penerangan RI, Harmoko mencetuskan gerakan Kelompencapir(Kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa) yang dimaksudkan sebagai alat untuk menyebarkan informasi dari pemerintah.
Harmoko pun dinilai berhasil memengaruhi hasil pemilihan umum (Pemilu) melalui apa yang disebut sebagai " Safari Ramadhan.”
Sebagai Ketua Umum DPP Golkar,  Harmoko dikenal pula sebagai pencetus istilah "Temu Kader.”Terakhir, ia menjabat sebagai Ketua DPR/MPR periode 1997-1999 yang mengangkat Soeharto selaku presiden untuk masa jabatannya yang ke-6. Namun dua bulan kemudian Harmoko pula memintanya turun ketika gerakan rakyat dan mahasiswa yang menuntut reformasi  tampaknya tidak lagi dapat dikendalikan.






25 April 2016

Ketika Pak Harmoko dan Ibu Herawati Itu Hadir




Ketika hari Minggu, 24 April 2016 di Situ Gintung diselenggarakanlah reuni alumni awak pers sangaji sebelas Jakarta yang dulunya bernaung di kelompok Grup Merdeka (Harian Merdeka, Majalah TOPIK, Minggu Merdeka, Majalah Keluarga dan harian berbahasa Inggris, Indonesian Observer). Media ini dikomandoi Almarhum Bapak BM Diah dan isterinya Ibu Herawati Diah. Harian Merdeka merupakan koran perjuangan yang terbit pada 1 Oktober 1945.  Bagi saya yang pernah bergabung di Grup Merdeka itu, yang mengharukan ketika di hari Minggu itu adalah kehadiran Ibu Herawati Diah (99 tahun) dan Pak Harmoko (77 tahun). Sangatlah wajar jika kedua beliau itu memakai kursi roda. Tetapi yang patut dicatat adalah semangat kedua tokoh pers itu untuk hadir di Situ Gintung, Ciputat. (Foto-foto :Roosiah Yuniarsih, Syahdanur dan Yuli Sofyan)


04 April 2016

Selamat Ulang Tahun ke-99 Ibu Herawati Diah



Tanggal 3 April 2016 genap sudah usia Ibu Herawati Diah ke-99 tahun. Saya yang pernah bergabung dengan Grup Merdeka mengucapkan selamat ulang tahun kepada Ibu. Kami pun dari para alumni wartawan Harian Merdeka Sangaji 11 pada Kamis, 31 Maret 2016 telah pula menyelenggarakan peringatan HUT Ibu Herawati di Perpustakaan MPR-RI. Seraya meluncurkan buku untuk kenang-kenangan bagi Ibu:99 Tahun Herawati Diah, Pejuang Pers Indonesia. Selamat Ulang Tahun ke-99 Ibu. Semoga Allah SWT selalu memberkati perjalanan kita selama ini dan akan datang. Amin Ya Rabbal'alamin



03 April 2016

Peluncuran Buku Letjen (Purn/Mar) Safzen Noerdin


Graha Marinir, Jakarta pada Rabu  malam, 30 Maret 2016 dipenuhi para petinggi petinggi TNI, khususnya dari Angkatan Laut RI. Kehadiran mereka sudah tentu berkaitan dengan undangan dari Dubes RI untuk Irak, Letjen TNI Mar (Purn) Safzen Noerdin (2012-2015) yang  meluncurkan buku tentang pengalamannya  selama bertugas di sana. Saya hadir di sana karena Pak Safzen tidak pernah melupakan saya dan undangan dikirim melalui HP. Buku berjudul Hari-Hari Rawan di Irak itu diterbitkan oleh Penerbit Rajawali Consultant  diterbitkan Maret 2016 , dan  diluncurkan di Graha Marinir Jakarta, pada malam hari itu. 

09 Maret 2016

Diskusi Buku di Perpustakaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI

Kamis, 3 Maret 2016, diselenggarakan diskusi buku menghadirkan Anggota Lembaga Pengkajian MPR, Drs.Hajriyanto Y Thohari. MA, Dosen UI Dr.Ir.Adi Santika MS,SH, dan saya sendiri, Dasman Djamaluddin,SH,M.Hum, juga menghadirkan Trinirmalaningrum, Direktur Utama Perkumpulan Skala. Sedangkan moderator diskusi adalah Kepala Bagian Perpustakaan MPR-RI Dra.Roosiah Yuniarsih,M.Kom. Diskusi membahas buku Jojo Rahardjo berjudul “Psikologi Positif dan Manusia Indonesia dalam Perspektif Pancasila dan Kebhinekaan.” (Foto-foto dari Perpustakaan MPR-RI)



Sumber Tnol.co.id tentang Ibu Herawati Diah

Sumber: Tnol.co.id (Ketika Ibu Herawati berusia 95 Tahun, ditulis oleh Dasman Djamaluddin dan tanggal 3 April 2016 berusia 99 Tahun
Tiada yang mengerti mengapa Tuhan memberi umur panjang kepada seseorang....  
Ilustrasi/ IstimewaIlustrasi/ IstimewaSebuah judul: "Herawati Diah, Perempuan Jurnalis dan Perintis"di sebuah harian ibukota, dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun Herawati Diah yang ke-95 tahun, 3 April 2012, memang cocok dilekatkan kepada perempuan yang ikut mendirikan Koran Merdeka, bersama suaminya almarhum Burhanuddin Mohammad Diah (B.M. Diah), di samping juga mendirikan dan memimpin Koran The Indonesian Observer, tahun 1955. Tetapi bagi saya, yang bersinggungan langsung dengannya, ketika menulis buku suaminya B.M. Diah (Butir-butir Padi B.M. Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman, Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992), maka saya ingin menambahkan judul itu menjadi: "Herawati Diah, Ketabahan Seorang Perempuan".
Ilustrasi/ IstimewaIlustrasi/ IstimewaMengapa harus demikian? Karena saya menyaksikan dari dekat betapa sebuah peristiwa bisa saja begitu cepat terjadi, dan itu terjadi ketika saya sedang mengumpulkan bahan untuk menulis buku B.M. Diah, suaminya, yang pendiri dan pemimpin Harian Merdeka, sebuah koran perjuangan yang lahir 1 Oktober 1945. Di samping itu, B.M. Diah adalah satu-satunya saksi sejarah yang pada malam 17 Agustus 1945, di rumah Maeda, ikut bergabung bersama-sama Bung Karno-Bung Hatta dan lain-lainnya menyusun naskah proklamasi, sebagai seorang wartawan. Setelah itu, B.M. Diah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Cekoslowakia, Inggris, dan Thailand. Akhirnya ia menjadi Menteri Penerangan RI. Ia orang dekat Bung Karno, dan sepak-terjangnya saat itu sesuai dengan garis Harian Merdeka waktu itu.
Ilustrasi/ IstimewaIlustrasi/ IstimewaKembali kepada Herawati Diah. Di kala menyusun buku B.M. Diah, saya berada di dalam dilema. Ketika bahan sudah terkumpul dan ingin naik cetak, ada orang kedua dalam kehidupan Herawati Diah, yaitu Julia, yang juga ada tersebut namanya di dalam buku yang saya tulis. Saya berhubungan baik dengan keduanya. Dan saat itu, ada keraguan untuk menerbitkan buku ini atau tidak. Namun karena di dalam buku itu juga ada nama-nama besar yang berhasil saya kumpulkan dengan susah-payah, seperti Dr. H. Roeslan Abdulgani, Mh. Isnaeni, Tjokropranolo, A.H. Nasution, SK. Trimurti, Hardi, Ibnu Sutowo, Manai Sophiaan, Ridwan Saidi, dan Aristides Katoppo, maka saya kemudian memutuskan untuk menerbitkannya. Saat itu pula Herawati bertanya kepada saya, "Bung Dasman, foto-foto yang saya berikan mana?" Saya bilang, "Foto-foto ibu disimpan Bapak (B.M. Diah), saya tidak bisa berbuat apa-apa karena saya menulis buku Bapak."
Ilustrasi/ IstimewaIlustrasi/ IstimewaAkhirnya, saya sarankan agar Herawati menulis buku, yang kemudian lahirlah buku Kembara Tiada Berakhir dan dikirim ke alamat saya, juga B.M. Diah Wartawan Serba Bisa. Tetapi ketika Rosihan Anwar meresensi buku terakhir ini, di Majalah Gatra, beliau meragukan data yang dikumpulkan, karena B.M. Diah sudah sakit-sakitan. Rosihan mendukung data saya, karena saya menulisnya saat B.M. Diah masih segar bugar, meski di usianya yang ke-75 tahun. Dan juga, buku Butir-butir Padi B.M. Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman yang saya tulis itu banyak dicuplik di bukuB.M. Diah Wartawan Serba Bisa ini.
Ilustrasi/ IstimewaIlustrasi/ IstimewaRasanya, tidak perlulah saya ceritakan bagaimana selanjutnya. Saya mungkin tidak memahami psikologi perempuan jika berhadapan dengan masalah seperti itu. Saya hanya ingin mengatakan, bahwa dengan apa yang telah dialaminya itu, Herawati Diah sangat tabah menjalani hidupnya hingga usia ke-95 tahun. Semoga Allah SWT terus memberkatinya. Selamat Ulang Tahun, Ibu. Mencapai usia hingga 95 tahun betul-betul merupakan anugerah dari Sang Maha Pencipta.

24 Februari 2016

Catatan Legiun Veteran RI (LVRI) Itu


Terima kasih Pak Dasman atas sharing informasi di facebook LVRI tentang Letjen Pur Rais Abin/Ketua Umum LVRI. Beliau salah seorang tokoh Veteran Pejuang Kemerdekaan RI yang sampai saat ini masih exist, sehat, semangat dan selalu menggelorakan semangat kami generasi yang dididik dan diasuhnya, termasuk para Veteran Pembela Kemerdekaan RI dan Veteran Perdamaian RI post Angkatan '45 termasuk generasi AKABRI untuk terus mengabdi tanpa akhir bagi kejayaan NKRI.

Sikap, Keteguhan, Kepemimpinan, Keteladanan, Pengabdian bagi Bangsa dan NKRI dari generasi Angkatan '45, para senior seperti Pak Rais Abin, Pak Purbo Suwondo, Pak Sayidiman, Pak Sukotjo, Pak Awaludin Djamin, patut dikenalkan kembali kepada generasi muda saat ini.

Demikian pula keteladanan perjuangan para Pejuang Kemerdekaan Angkatan '45 lainnya yang telah mendahului kita seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Bung Tomo, Laksamana John Lie, Laksamana Yos Sudarso, Marsekal Suryadharma, Marsekal Prof Dr Abdurahman Saleh, Marsekal Halim Perdanakusuma, Jendral Hoegeng, Jendral Moehammad Jasin, dllnya patut kita kenang kembali.


Acungan dua jempol masing-masing untuk karya-karya Pak Dasman dan untuk Blog Perspektif Budaya Danang Probotanoyo. Penuh nuansa dan pesan perjuangan bagi generasi penerus bangsa. GBU. Sekali Merdeka tetap Merdeka.


20 Februari 2016

50 Tahun Supersemar (Surat Perintah 11 Maret), Seminar dan Membangun Bangsa dan Negara Indonesia


Hotel Bidakara,  Sabtu, 13 Februari 2016 menjadi momen penting bagi perjalanan sejarah bangsa ke depan. Kenapa tidak ? Di tempat inilah para sejarawan , tokoh militer, tokoh-tokoh yang berdekatan langsung dengan pelaku sejarah, bersedia hadir untuk mendiskusikan tentang Surat Perintah 11 Maret 1966, yang kini sudah 50 tahun berlalu.

Para pembicara yang hadir pada saat itu adalah Peter Kasenda, S.S, Prof.Dr.Taufik Abdullah, Dr.Anhar Gonggong dan Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri. Sedangkan sebagai  Panelis, Dr. Fuad Bawasir (Mantan Menteri Keuangan RI),  Subiakto  Tjakrawerdaya (Mantan Rektor Trilogi) dan  saya sendiri Dasman Djamaluddin,SH,M.Hum (Penulis Buku: “Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar”).

Diskusi ini menarik, karena mencoba melihat sejarah tidak sepotong-sepotong. Melihat sejarah Indonesia secara utuh. Sudah tentu berbicara Supersemar, berbicara tentang dua Presiden RI, Soekarno dan Soeharto. Menampilkan kedua tokoh ini, mencoba melihat sisi-sisi positip untuk membangun bangsa ini ke depan. Jadi tidak melihat suatu peristiwa sejarah berputar-putar tanpa memikirkan masa depan bangsa ini selanjutnya.

Bangsa Indonesia sudah 70 Tahun Merdeka. Adalah hak dari generasi penerus kita mempertanyakan, sudah sejauh mana kemajuan bangsa ini dibandingkan dengan negara-negara lain. Sudah mampukah bangsa ini mandiri? Mengapa bangsa ini masih tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang belakangan merdeka? Mengapa utang kita terus menumpuk, sementara jika kita melihat perkembangan Tiongkok akhir-akhir ini, negara itu dipuji-puji International Monetery Fund (IMF) karena uangnya akan dijadikan alat tukar internasional di samping dollar AS. Sementara jika kita berkaitan dengan IMF sudah tentu dalam pikiran kita, “berapa besar lagi kita berutang?.”

Pada waktu  acara seminar tersebut, saya mencoba memaparkan pandangan saya akan  negara yang terus berkembang. Saya mencontohkan Rusia. Pada kunjungan saya bulan Desember 1992, saya menyaksikan sendiri bagaimana rakyat Rusia sangat menghormati  para mantan Presidennya yang kemudian makamnya dikawal oleh pasukan Rusia. Hormat mereka akan mantan presidennya patut menjadi contoh bangsa-bangsa di dunia. Melalui penghormatan kepada mantan kepala negara, bangsa tersebut sudah memiliki modal untuk maju ke depan. Itulah mungkin yang terkandung di dalam Pidato Presiden Soekarno, “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (Jas Merah).”

Di antara tokoh militer dari Angkatan Darat (AD),  yang ikut berbicara adalah Letjend TNI Kiki Syahnakri. Menurut dia,  peristiwa Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) tak terlepas dari peranan tokoh terselubung (invisible hand). Bahkan tokoh itu sudah ada sejak Indonesia merdeka tahun 1945.

"Dalam peristiwa kekacauan yang terjadi di republik ini sejak kemerdekaan, saya kira tak lepas dari invisible hand," kata Kiki.

Kalimat Kiki ini mengingatkan akan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Agen CIA telah berbicara dengan Kolonel Maludin Simbolon (Menlu PRRI) dan meminta agar perusahaan minyak AS di Riau diledakkan saja. Tujuannya  jika Caltex tersebut dileddakan, AS  bisa memakai dalih tersebut untuk masuk ke Indonesia dan menggulingkan pemerintahan Soekarno. Saat itu Simbolon menolak. “Saya masih nasionalis,” ujarnya.

Kesetiaan pada Republik Indonesia memang  dipertegas Pimpinan PRRI Ahmad Husein  ketika saya menemuinya dua kali di Jakarta dalam keadaan sakit. “Saya bukan pemberontak. Sebagai TNI, kami hanya ingin mengingatkan Bung Karno tidak terlalu dekat dengan PKI.” Oleh karena itu, jika Presiden AS John F.Kennedy  mendesak Belanda segera berunding dengan Indonesia dengan catatan kepada Indonesia agar komunis tidak ada lagi di negara ini, sangatlah wajar.

Kembali ke masalah yang dibicarakan Kiki, ia pernah membaca buku, berjudul "Incubus of Intervention: Conflicting Indonesia Strategies of John F. Kennedy and Allen Dulles", perang proksi (war by proxy) kerap terjadi di Indonesia. Pihak ketiga tidak secara langsung menciptakan kekacauan di Indonesia. Dari buku itu pula, tercermin pengaruh Amerika Serikat dalam beberapa peristiwa bersejarah di Indonesia.

Kiki pun mengaitkannya pada Doktrin Monroe milik Presiden Amerika Serikat ke-5, James Monroe. Doktrin Monroe mengatakan dunia tidak akan sepi dari konflik tapi konflik tidak boleh terjadi di Amerika. Oleh karena itu Amerika menciptakan konflik di luar negaranya.

"Pasti dengan Amerika tidak ingin membuat stabilitas di Indonesia, maka saya percaya tangan-tangan itu bekerja dari awal 1945, jatuhnya Soekarno dan jatuhnya Soeharto," ungkap Mantan Kepala Staf Angkatan Darat itu.

Kiki pun mengimbau agar pemerintah terus waspada akan potensi-potensi kekacauan semacam itu. Pemerintah perlu melakukan upaya untuk menghalangi keterlibatan tokoh terselubung. Kiki yakin, hal itu dapat diatasi jika kekuatan nasional dapat bersatu.

"Utamanya ada di partai politik tapu sayang sekali partai politik nasionalis masih 'sakit', terutama Golkar,” kata Kiki.


Akhirnya Kiki juga sedikit menyinggung masalah Freeport. Menurut saya Kiki Syahnakri tidak bisa melepaskan  peran perusahaan tambang AS itu di Papua. Sebagai orang yang bernah di Papua selama empat tahun, bersinggungan dengan MayJen C.I. Santoso, mantan Panglima Cenderawasih, semasa kuliah di FH Uncen, saya ikut mengamininya agar berhati-hati.(Foto:MetroTVNews dan arsip Dasman Djamaluddin)

My Book General Basoeki Rachmat and Supersemar (11 March Order)

The Late General Basoeki Rachmat and Supersemar

Summary by:Dasman
My Book: “The Late General Basoeki Rachmat and Supersemar (11 March Order) (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1998) told: On September 30, 1965, a group calling itself the 30 September Movement killed six senior Army generals, seized control of the center of Jakarta and issued a number of decrees over Republic of Indonesia Radio. Soeharto and his allies defeated the movement, but Soekarno was fatally weakened. The Army accused its long standing rival, the Indonesian Communist Party (PKI), of being behind the "coup attempt" and an anti-Communist purge ensued. Over the next few months, Soeharto and the army seized the initiative, and during a cabinet meeting (which Soeharto did not attend), troops without insignia surrounded the presidential palace where the meeting was being held. Soekarno was advised to leave the meeting, and did so, flying to the presidential palace in Bogor, 60 km south of Jakarta, by helicopter. Later that afternoon, three Army generals, Maj. Gen. Basoeki Rachmat, Minister for Veteran Affairs, Brig. Gen. M Jusuf, Minister for Basic Industry and Brig. Gen. Amirmachmud, Commander of the V/Jaya Jakarta Military Area Command, visited Soekarno and came away with the signed Supersemar, which they then presented to Suharto. The next day, Soeharto used the powers thus conferred on him to ban the PKI, and on March 18, fifteen Soekarno loyalist ministers were arrested. Soeharto changed the composition of the Provisional People's Consultative Assembly (MPRS), and in March 1967 it voted to strip Soekarno of his powers and appointed Soeharto acting president. In 1968, the MPRS removed the word 'acting', and Soeharto remained in power until toppled by the Indonesian Revolution of 1998.. 
The Late General Basoeki Rachmat and Supersemar Originally published in Shvoong: http://www.shvoong.com/books/biography/1908499-late-general-basoeki-rachmat-supersemar/

LOVE STORY OF THE FIRST PRESIDENT OF INDONESIA,SOEKARNO (I)

05 Mei 2008

Love Story of The First President of Indonesia, Soekarno (I)

Soekarno, the first President of Republic of Indonesia married Tjokroaminoto daughter, Siti Oetari to please Tjokroaminoto, when he was about tweenty and she about sixteen; Soekarno said it was a "hanging marriage" which was not consummated. After a divorce he married Ganarsih Sanusi Inggit, his landlady in Surabaya, who was a dozen years older than himself. While in exile in Bengkulu he fell in love with Fatmawati, when she was seventeen, he forty, and Inggit more than fifty, he married her by proxy from Batavia in June 1943; she bore him five children. On 7 July 1954, he married Hartini, then twenty-eight, who already had five children by husband whom she divorced; she bore Soekarno two children. In 1963 he secretly married Ratna Sari Dewi, whom he had met in Tokyo; she bore him a daughter. He married Haryati in 1964 and divorce her at her own request. It is questionable wether he married Yurike Sanger, who is often said to be his seventh wife, and then Kartini Manoppo and Herdy Djafar.

LOVE STORY OF THE PRESIDENT OF INDONESIA, SOEKARNO (I)
(KISAH CINTA PRESIDEN PERTAMA RI SOEKARNO (I)

Fell in Love with Dutch Girls
(Cinta Pertama dengan Gadis Belanda)

Oleh Dasman Djamaluddin

Soekarno said: (Quotation from book: Sukarno An Autobiography As told to Cindy Adams. First Printing, 1965, Printed in the United States of America).

I like attractive girls around me because I feel they are like flowers, and I like to gaze at beautiful flowers. I was very much attracted to Dutch girls. I wanted desperately to make love to them. It was the only way I knew to exert some form of superiority over the white race and make them bend to my will. That's always the aim, isn't it ? For a brown-skinned man to over-power the white man ? It's some sort of goal to attain. Over powering a white girl and making her want me became a matter of pride. A handsome boy always has steady girls friends. I had many. They even adored my regular teeth. But I admit I deliberately went after the white ones.

My first crush was Pauline Gobee, the daughter of one of my teachers. She was beautiful and I was crazy about her. Then there was Laura. Oh, how I adored her. And there was the family Raat. Now I had Mien Hessels. She was all mine and I was madly, wildly, insanely in love with this yellow-haired, pink-cheeked tulip. I'd cheerfuly have died for her if she'd asked it. It was 18 and wanted nothing more out of life than to possess her body and soul. I craved her passionately and came to the realization I had to marry her. Nothing else would quench the fire within me. She was the icing on the cake I could never buy. She was creamy-skinned and curly-headed and she represented everything. I'd always wanted to put my arms arround Mien Hessels spelled riches to me.

I finnaly got up the nerve to speak to her father. I dressed in my very best. I wore shoes. Sitting in my dark room. I'd rehearsed the words I was going to say, but when I approached the tidy house I quivered with fright. I had never visited a house like this before. The lawn was green velvet with row upon row of flowers standing straight and tall like soldiers. I had no hat to hold in my hand, so, instead, I held my hearth in my hand.

And there I stood, shaking, in front of the father of my ivory princess, a towering six-footer who stared straight down at me like I was vermin on the ground. "Sir, "I said, if you please, I would like the hand of your daughter in marriage...Please ?

"You ? A dirty native like you ? spat Mr.Hessels. "How dare you even come near my daughter. Out, you filthy animal. Get out."

(Ada kalimat menarik yang patut dikutip ketika melihat sosok Presiden Pertama RI, Soekarno atau populer dengan sebutan Bung Karno sebagai seorang pecinta. Kalimat-kalimat tersebut berasal dari Bambang Widjanarko, yang mendampingi Soekarno selama delapan tahun sebagai ajudan pribadi. Dia pernah menulis: "Daya tarik serta taraf intelektualnya yang tinggi menjadikan Soekarno seorang master dalam menaklukkan hati wanita."

Sebagai laki-laki, Soekarno pandai mencurahkan perhatiannya secara utuh kepada setiap wanita yang dihadapinya sehingga wanita tersebut merasa ia satu-satunya yang paling dicintai. Soekarno tidak segan-segan mengambilkan minuman untuk seorang tamu wanita, membantu memegang tangan wanita itu sewaktu turun dari mobil atau sekedar memuji busana dan tata rambutnya. "Bung Karno tahu, setiap wanita amat senang mendapat pujian," demikian tulis Bambang.

Bung Karno merupakan manusia luar biasa. Tumbuh menjadi pemuda tampan. Banyak gadis-gadis Belanda yang menyukainya. Tetapi sebagaimana diutarakannya dalam buku biografinya:"Soekarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia," dia mengungkapkan dengan sejujurnya mengapa sangat tertarik dengan gadis-gadis Belanda.

"Aku sangat tertarik kepada anak-anak gadis Belanda. Aku ingin sekali mengadakan hubungan percintaan dengan mereka. Hanya inilah satu-satunya jalan yang kuketahui untuk memperoleh keunggulan terhadap bangsa kulit putih dan membikin mereka tunduk pada kemauanku. bukankah ini selalu menjadi idaman ? Apakah seorang jantan berkulit sawo matang dapat menaklukkan seorang gadis kulit putih ? Ini adalah suatu tujuan yang hendak diperjuangkan. menguasai seorang gadis kulit putih dan membikinnya supaya menginginiku adalah suatu kebanggaan. seorang pemuda tampan senantiasa mempunyai gadis-gadis yang tetap. Aku punya banyak. Mereka bahkan memuja gigiku yang tidak rata. Dan aku mengakui bahwa aku sengaja mengejar gadis-gadis kulit putih."

Pada bahagian lain, Bung Karno menuturkan bahwa cinta pertamanya tertuju pada seorang gadis Belanda. "Cintaku yang pertama adalah Pauline Gobee, anak salah seorang guruku. Dia memang cantik dan aku tergila-gila kepadanya..."Kemudian muncul sederetan nama, semuanya gadis keturunan Belanda, yakni Laura, Raat, Mien Hessels.

Ketika jatuh pada nama terakhir ini, yaitu Mien Hessels, Bung Karno berkeinginan untuk mengawininya. "Umurku baru 18 tahun dan tidak ada yang lebih kuinginkan dari kehidupanku ini selain dari pada memiliki jiwa dan raga Mien Hessels."

Hasrat hati Bung Karno untuk memiliki Mien Hessels menggebu-gebu. Akhirnya dia memberanikan diri untuk berbicara kepada bapaknya."Aku mengenakan pakaian yang terbaik, dan memakai sepatu. Sambil duduk di kamarku yang gelap aku melatih kata-kata yang akan kuucapkan dihadapannya,"tutur Bung Karno.

Bung Karno juga mengakui bahwa baru pertama kali bertemu ke rumah gadis keturunan Belanda tersebut. Dalam Pengakuannya dia mengatakan. "Aku tak pernah sebelumnya bertamu ke rumah seperti ini. Pekarangannya menghijau seperti beludru.Kembang-kembang berdiri tegak, baris demi baris, lurus dan tinggi bagai prajurit. Aku tidak punya topi untuk dipegang, karena itu sebagai gantinya aku memegang hatiku," ujar Bung Karno menggambarkan suasana ketika itu.

Bung Karno berdiri gemetar di hadapan Bapak Mien Hessels yang digambarkannya sebagai seorang yang tinggi seperti menara yang memandang langsung kepada dirinya."Seperti aku ini dipandang sebagai kutu di atas tanah," jelas Bung Karno.

Bung Karno memberanikan diri untuk berbicara."Tuan,"katanya."Kalau tuan tidak berkeberatan saya minta anak tuan..."

Tetapi jawaban yang diterima Bung Karno bukanlah jawaban yang enak, ramah dan sopan santun. Sebaliknya Bung Karno memperoleh perlakuan buruk. Dia dihina."Kamu ? Inlander kotor, seperti kamu?," sembur Tuan Hessels. "Kenapa kamu berani-berani mendekati anakku ? Keluar, kamu binatang kotor. Keluar !."

Tentang pernyataan Bung Karno ini, ada sebahagian orang mengatakan, mungkin saja semua pernyataan tersebut benar, tetapi ada juga yang berpendapat, semua itu adalah daya khayal Bung Karno, karena rasa "nasionalisme" beliau sangat tinggi.

Terlepas dari persoalan jatuh cinta dengan gadis Belanda tersebut, yang pasti dan kemudian terukir dalam sejarah adalah pernikahan yang dijalaninya pada usia belum genap 20 tahun. Tahun 1921 di Surabaya, Bung Karno menikah dengan Siti Oetari, gadis usia 16 tahun, putri sulung tokoh Serikat Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto (Selanjutnya "Siti Oetari, Isteri yang Tak Pernah Disentuh.")

TEMU SASTRAWAN NUSANTARA MELAYU RAYA

TEMU SASTRAWAN NUSANTARA MELAYU RAYA
TEMU SASTRAWAN DI MAJALAH "RENVOI" EDISI NO.11.170.APRIL 2012

HITLER, SOEHARTO DAN SUPERSEMAR

Menyaksikan film Adolf Hitler sangat menarik. Terlihat jelas bagaimana trik trik yang dilakukan untuk merebut kekuasaan. Terlihat di sini bagaimana seorang sahabat dekat bisa menjadi lawan. Bagaimana fitnah-fitnah tentang penghianatan sengaja dibesar-besarkan, sehingga tidak ada lagi lawan politik. Hal ini kita lihat dalam rekaman sejarah dunia di mana pun. Yang penting kekuasaan itu harus direbut dan tidak pernah diberikan.Memang benar bahwa di dalam politik praktis berlaku juga adagium tidak ada kawan atau lawan, tetapi yang penting tujuan.

Masalah keadilan, kesejahteraan dan kebenaran itu hanya dimiliki tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh intelektual yang tidak berkhianat terhadap keprofesiannya. Bagi tokoh-tokoh politik hal itu jarang berlaku. Dogma-dogma yang disuarakan memang benar, sebagaimana di teriakan Hitler berkali-kali seperti perdamaian dsbnya. Tetapi apa yang dilakukan Hitler? Tidaklah sebagaimana yang dijanjikan atau diteriakkannya berkali-kali. Tidak hanya itu di Irak misalnya, apa yang membenarkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat mengintervensi negara Dunia Ketiga yang kekuatannya tidak sebanding. Berapa ratus, atau juta rakyat yang menjadi korban. Bukanlah masalah yang terjadi sengaja dikacaukan sendiri oleh pihak luar, bukannya dari dalam. Lihatlah nasib Suriah dalam waktu dekat ini, pun nampaknya akan mengalami seperti Irak. Hitler juga melakukan demikian. Dalam negeri Jerman diacak-acak sendiri oleh Hitler agar kewibawaan pemerintahan yang sedang berjalan tidak lagi dihormati di mata rakyatnya. Pembakaran, pembunuhan memang diciptakan dan yang menyelesaikannya pasukan Hitler sendiri. Rakyat berteriak, Hitler penyelamat, Akhirnya Hitler tampil sebagai Kaisar dan kemudian?

Contoh-contoh seperti ini pula saya lihat di Indonesia, meski tidak sama dengan Hitler di Jerman. Di dalam politik praktis itu merupakan hal wajar. Oleh karena itu banyak yang berbicara, mantan Presiden Soeharto melakukan kudeta, itu pun biasa.Hampir semua penguasa tidak ingin ingin ditandingi dalam berbagai hal. Ketika saya bertemu dengan mantan Laksamana Soedomo saya memahami betul perjalanan politik Indonesia di masa Presiden Soeharto.Jadi kesimpulan saya tentang hal-hal kekuasaan Soeharto, termasuk raibnya Surat Asli Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), ya hal itu menjadi biasa. Hanya kekeliruan kita, ketika hal itu terjadi ideologi kita Pancasila masih mencari-cari bentuk. Jadi Pancasila disesuaikan dengan keinginan penguasa.Tetapi sebagai seorang ilmuwan dan para tokoh agama apa pun, Islam, Kristen, dan Budha, kita jangan berhenti berjuang menyuarakan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat.Minimal kita berdoa, agar bagaimana Sang Pencipta tidak marah.

GAGALNYA METODE SELEKSI ALA TES SARLITO WIRAWAN SARWONO

HANYA SEBUAH CATATAN


KASUS ANDI NURPATI merupakan salah satu contoh kegagalan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam hal menyeleksi anggota-anggotanya. Berarti sudah dua kali KPU gagal dalam menerapkan proses penyeleksian. Sebelumnya bahkan lebih parah lagi karena di antara para anggota KPU sempat di bui.


Istilah Metode Seleksi Ala Tes Sarlito Wirawan saya ambil dari Harian Kompas, Rabu 8 Agustus 2007 Halaman 2, berjudul: "Metode Tes Kesetiaan Disoalkan." Jadi istilah ini bukan dari saya. Pada waktu itu wartawan Kompas mewawancarai Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo dan saya sendiri, peserta tes yang gagal, termasuk di antaranya Sejarawan Dr.Anhar Gonggong yang ketika tes persis berada di hadapan saya dan Prof Dr Ramlan Surbakti serta Progo Nurdjaman (mantan Sekjen Depdagri).


Saya sebetulnya tidak ingin mengungkit-ungkit luka lama, tetapi saya ingat persis pernyataan Sarlito Wirawan Sarwono di hadapan para peserta tes, bahwa dia mampu menghasilkan sumber daya manusia berbeda dari yang sebelumnya, yaitu sumber daya manusia terbaik dalam alam pikiran Sarlito Wirawan Sarwono. Tetapi apa yang terjadi ? Setelah selesai menyelenggarakan tes, kritikan-kritikan pun bermunculan. Bahkan ada yang bertanya apakah Ilmu Psikologi masih mampu menjaring manusia-manusia terbaik? Masalahnya semakin nyaring terdengar dengan adanya kasus Andi Nurpati ini. Pertanyaan selanjutnya, metode tes seperti apa lagi yang bisa dilakukan para ahli, termasuk ahli psikologi ?


Pada waktu ini saya sempat menggugat hasil penyeleksian anggota KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Di samping banyak pula yang mengatakan bahwa Ilmu Psikologi hanya salah satu penentu, bukan penentu. Saya setuju, tetapi yang menjadi permasalahannya telah terjadi salah tafsir mengenai rumusan "tes tertulis" yang termaktub dalam undang-undang. Menurut saya tes tertulis itu tidak hanya mencakup bidang psikologi saja, tetapi bidang-bidang ilmu lainnya. Dikarenakan yang mengetuai adalah dari bidang psikologi, Sarlito Wirawan Sarwono sehingga tesnya pada waktu itu 100 persen dikaitkan dengan bidang psikologi. Bahkan ada pula tes kesetiaan kepada NKRI dan Pancasila. Logikanya kalau saya tidak lulus tes samalah artinya saya anti NKRI dan anti Pancasila.


Itulah sebabnya ketika saya diwawancarai oleh wartawan Kompas yang dimuat dalam Harian Kompas, Rabu 8 Agustus 2007 halaman 2 saya bersikukuh itu bukan tes tertulis sebagaimana dminta undang-undang, tetapi tes psikologi. Selengkapnya saya kutip hasil wawancara saya di Harian Kompas tersebut:


"Sementara itu, Dasman Djamaluddin, Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pilkada Indonesia yang tak lulus seleksi tertulis KPU juga membantah pernyataan Sarlito bahwa tes kepada para peserta merupakan tes tertulis (Kompas,7/8).


"Tes yang diberikan benar-benar tes psikologi. Sebagian tes sama dengan yang diberikan kepada saya sewaktu harus memperoleh surat keterangan sehat jasmani dan rihani di rumah sakit. Jadi tidak betul kalau itu dinyatakan tes tertulis," katanya.


"Ia menilai anggota tim seleksi telah menunjukkan arogansi intelektual karena hanya mengukur dari bidang ilmunya sendiri, tanpa mempertimbangkan bidang ilmu lain, seperti pemahaman peserta tentang persoalan pemilu"

SEMANGAT,JIWAI PELANTIKAN ICMI ORDA KOTA DEPOK

Oleh Dasman Djamaluddin

Gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang terletak di Jalan Nusantara Raya 5-7 Depok, Minggu, 24 Juli 2011 malam, menjadi saksi sejarah kesinambungan dan kebangkitan Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Organisasi Daerah (Orda) Kota Depok.

Mengapa tidak? Sebelumnya gedung itu pun dipakai sebagai ajang pemilihan Ketua baru ICMI Orda Kota Depok dalam acara Musyawarah Daerah Pertama tanggal 22 Mei 2011. Bahkan gedung itu pula akan, di salah satu ruangannya, akan menjadi sekretariat tetap ICMI Orda Kota Depok.

Suasana Minggu malam itu memang tidak bersahabat. Hujan yang begitu deras mengguyur Kotamadya Depok. Tetapi, wajah-wajah pengurus yang akan dilantik yang berbaur dengan para pejabat Kota Depok, termasuk yang mewakili Walikota Depok, tetap ceria dan sumringah. Mereka seakan-akan tidak peduli dengan cuaca buruk di luar gedung. Semangat ini pula rupanya mendorong lancarnya acara Pengesahan Susunan Majelis Pengurus Daerah ICMI Orda Depok Periode 2011-2016.

Berlangsungnya pelantikan ini bersamaan dengan akan tibanya Bulan Suci Ramadhan buat pemeluk Agama Islam dan HUT Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 2011. Boleh dikatakan pelantikan ini memberi makna khusus bagi pengurus, agar jiwa pengabdian ikhlas diperuntukkan betul untuk agama dan bangsa, khususnya untuk Orda Depok, ya di Kota Depok.

Berbicara tentang ICMI, ya, sudah tentu berbicara mengenai seorang figur Prof Dr BJ Habibie. Beliaulah yang pada waktu itu dipercaya Presiden Soeharto mengomandani organisasi tersebut yang kelahirannya ditandai dengan penyelenggaraan Simposium I ICMI di Malang,Jawa Timur, Desember 1990. Sejak itu ICMI berkembang pesat dengan memiliki surat kabar sendiri dan think-tank sendiri (CIDES), serta mengembangkan kepentingan-kepentingan ummat Islam dalam bentuk Bank Islam.

Dinamika ICMI sekarang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Menarik untuk disimak adalah bahwa ICMI dipertahankan sebagai organisasi kemasyarakatan non politik. dan terus menjaga trilogi: kecendikiawanan, ke Islaman, dan ke Indonesiaan. ICMI tidak ingin terlibat dalam kondisi perpolitikan yang hanya menghabiskan enerji. Patutlah dimengerti bahwa dalam kondisi perpolitikan apa pun, ICMI bertekad, rakyat harus diberdayakan, karena konsumsi perpolitikan, sejatinya hanya menjadi ranah kalangan elite saja.

ICMI Orda Depok

Adalah Ir.Djoko Prabowo, pria kelahiran 22Januari 1965 diamanahkan ICMI Orda Kota Depok untuk memimpin organisasi ini periode 2011 - 2016 dalam Musda I, 22 Mei 2011.Keinginan Djoko memang sangat sederhana, yaitu bagaimana ke depan ICMI Orda Kota Depok memiliki tanggung jawab sosial, dan atau kepeduliaan sosial dalam pengertian yang lebih luas. Keberadaan itu, tegas Djoko, minimal harus mampu melakukan analisa dan evaluasi secara kritis persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat Depok. Lebih penting, ungkap Djoko, ICMI Orda Kota Depok harus mampu pula menunjukkan arah atau jalan bagi perkembangan masyarakat dengan konsisten,menggali ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan ummat. Dalam arti bukan untuk diri sendiri, kroni atau golongan, melainkan untuk masyarakat yang lebih luas.

Sejalan dengan keinginan ini, Djoko mengusung tema ketika berlangsung Musda I ICMI baru-baru ini: MEMBERDAYAKAN POTENSI KECENDIKIAWANAN ICMI. MARI KITA MENGHANTARKAN RAKYAT KOTA DEPOK LEBIH MAJU MENCAPAI PERADABAN MADANI. Tema ini kemudian dipertegas lagi oleh Djoko dalam sambutan sebagai Ketua Majelis Pengurus Daerah ICMI Orda Kota Depok Periode 2011-2016, 24 Juli 2011, hari Minggu malam.Realitasnya dalam program akan didasarkan pada prinsip 5 K: Pertama, Kualitas Iman dan Taqwa.Kedua,Kualitas Pikir. Ketiga,Kualitas Karya.Keempat,Kualitas Kerja.Kelima, Kualitas Hidup. Kualitas kehidupan ini dapat menjamin ketenteraman dan keadilan sehingga hak dan kewajiban dapat berjalan secara seimbang.

Dengan demikian:

1. ICMI Orda Kota Depok akan mengakomodasi semua golongan Cendikiawan tanpa melihat perbedaan jender, tingkat pendidikan, pembudayaan, profesi, usia dan kelompok, sebagai bagian dari komponen pembangunan bangsa yang akan dikenal oleh masyarakat Kota Depok secara luas.

2. ICMI Orda Kota Depok akan berupaya memobilisasi para Cendikiawan yang ada di Kota Depok, baik dari kalangan intelektual kampus, para profesional, para Enterpreneur, tokoh masyarakat, kalangan generasi muda maupun masyarakat luas yang memiliki potensi untuk memberikan sumbangsih kecendiakaannya.

3. ICMI Orda Kota Depok akan senantiasa memelihara Silaturrahmi kepada masyarakat, para Tokoh atau Sesepuh, pemerintah dan kelompok atau Organisasi lain yang ada di Kota Depok dalam rangka menciptakan Persatuan dan Keselarasan dalam menjalankan tugasnya, memberikan sumbangan pemikiran yang positif, produktif realistis serta dapat memenuhi harapan masyarakat Kota Depok.

4. ICMI Orda Kota Depok akan senantiasa melakukan tindakan nyata sebagai karya yang dapat menjadi tauladan dan sarana penggerak pembangunan masyarakat Depok secara keseluruhan. Dengan senantiasa mengkomunikasikan upaya-upaya pemikiran, karya nyata dan segala aktifitas organisasi kepada semua pihak agar terjadi keselarasan dalan saling pengertian dalam kebersamaan membangun masyarakat Depok.

5. ICMI Orda Kota Depok akan senahntiasa aktif berpartisipasi serta berkoordinasi dengan Badan Organisasi ICMI yang lebih tinggi (ORWIL dan ORPUS) guna menghasilkan keselarasan program dan cita-cita ICMI secara keseluruhan.

(Penulis adalah Ketua Divisi Hukum dan HAM ICMI Orda Kota Depok Periode 2011-2016).

WAKIL PRESIDEN BOEDIONO DI ACARA SETAHUN WAFATNYA IBU HASRI AINUN HABIBIE

Tanggal 25 Mei 2011 malam merupakan kesempatan bagi keluarga besar Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan organisasi Islam lainnya memanjatkan do'a kepada Almarhumah Dr.Hj.Hasri Ainun Habibie. Sebelumnya acara yang sama pun telah dilakukan yang dihadiri Bapak Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono.Saya mewakili Orda Depok ikut bergabung dengan para undangan lainnya dan pergi bersama Sekretaris Dewan Penasehat Majelis Pimpinan Pusat ICMI Ahmad Zacky Siradj yang juga adalah mantan Ketua Umum PB.HMI ke rumah Bapak BJ.Habibie di Patra Kuningan.

Acara didahului sholat maghrib dan dilanjutkan do'a bersama untuk Ibu Hasri Ainun Habibie.Sehabis Isya muncullah Bapak B.J.Habibie dengan didampingi Bapak Wakil Presiden RI Prof.Dr.Boediono.M.Ec. Bagi saya ini pertamakalinya melihat langsung penampilan Bapak Habibie setelah Ibu Hasri Ainun wafat pada hari Sabtu, tanggal 22 Mei 2010, pukul 17.30 waktu Jerman, di Rumah Sakit Muenchen, Jerman karena sakit.

"Tegar dan tetap memiliki otak yang cerdas," sebagaimana sebelumnya.Beliau mengungkapkan liku-liku perjalanan jenazah yang pada waktu wafatnya Ibu Ainun bertepatan dengan hari libur di Jerman. Hari Sabtu, tanggal 22 Mei, Minggu, 23 Mei, Senin, 24 Mei hingga Selasa, 25Mei 2010.

"Saya minta bantuan sebuah organisasi Islam Internasional, di mana saya ICMI ikut membidaninya. Pada waktu itu ada 6 organisasi Islam dunia ikut menanda tangani berdirinya Organisasi Islam Internasional itu. Di tandatangani di depan Ka'bah, Arab Saudi sebuah hal yang tidak terpikirkan sebelumnya," ujar Habibie penuh semangat seraya menyatakan mengapa harus ditandatangi di depan Ka'bah. Maksudnya agar saksinya hanya Allah. Habibie boleh tidak ada, siapa pun boleh tidak ada, tetapi Allah akan menjadi saksi pendirian organisasi itu.

"Pada waktu itu ketuanya saya kontak dan beliaulah yang mengumpulkan anggota Muslim di Eropa karena memang Muslim di tempat saya tinggal pun minoritas."

Habibie juga menjelaskan bahwa jenazah di luar negeri dianggap juga sebagai barang oleh karena itu memakai paspor jenazah. "Maksudnya agar jangan ada hal-hal tidak diinginkan misalnya berlabel jenazah tetapi diselundupkan barang-barang yang dilarang," ujar Habibie.

Pada waktu itu Pak Soesilo Bambamg Yudhoyono dan Pak Boediono ikut membantu pemulangan jenazah, mulai prosesi pemulangan jenazah hingga pemakaman di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. Diceritakan pula oleh Pak Habibie, beliau akan tetap berada di dekat isterinya, meski tidak harus di Taman Makam Pahlawan. Untuk itulah Pemerintah sudah menyiapkan satu makam kosong di samping makam Ibu Ainun.

Pada saat Wakil Presiden Boediono mengucapkan sambutan, beliau merasa sangat berterimakasih dan kaget, yaitu ketika Pak Habibie menjadi Presiden, ia ditunjuk sebagai menteri pada tahun 1998. "Ini merupakan jabatan saya pertama kali sebagai menteri, entah apa kreterianya sehingga saya terpilih sebagai menteri," ujar Pak Boediono. Pada waktu ini Pak Boediono diangkat dalam Kabinet Reformasi Pembangunan sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional .

Yang menarik untuk disimak lagi adalah bahwa para anggota ICMI bisa melihat dua tokoh ICMI antara ayah dan anak duduk sejajar, di mana kedua-duanya punya pengaruh besar terhadap perjalanan ICMI. Pak Habibie sendiri di masa Presiden Soeharto dan Ilham Akbar Habibie yang baru-baru ini terpilih sebagai Ketua Presidium ICMI. Tujuan ICMI ke depan pun berbeda dengan di masa Presiden Soeharto, sekarang menurut Ilham Akbar Habibie,kader ICMI harus menciptakan program yang dirasakan masyarakat lapisan bawah (akar rumput).