Kolom Komunitas
Wajah Irak 1992
Dasman Djamaluddin
Selasa, 17 Juli 2012
Taksi yang saya tumpangi meluncur deras membelah padang pasir, menempuh jarak 885 kilometer. Sekitar 13 jam saya di taksi ini, bersama sopir berkebangsaan Irak. Sesekali rasa bosan bisa dihalau dengan berhenti di empat pos penjagaan. Dua pos penjagaan tentara Jordania, lebih kurang 335 kilometer dari Jordania, dan dua pos penjagaan lainnya milik tentara Irak, berjarak 550 kilomter ke Kota Baghdad.
Selama di perjalanan, saya masih mengingat-ingat ungkapan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Ali Alatas, sewaktu di Jakarta, mengenai penilaiannya tentang Perang Teluk, agar Amerika Serikat (AS) dan sekutunya jangan menginvasi Irak.
Ini terbukti kemudian, dengan hasil laporan Jeremy Greenstock, mantan Duta Besar Inggris untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), periode 1998 sampai Juli 2003, seusai memberikan kesaksian tertulis, pada sidang penyelidikan peran Inggris soal invasi ke Irak, tanggal 23 November 2009. Kesaksian ini memunculkan niat AS menginvasi Irak. Meski kejadian yang dimaksudkan adalah Invasi AS ke Irak tahun 2003, tetapi analisa Ali Alatas, Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, mengenai arti dari invasi AS tidak jauh berbeda. "Amerika Serikat (AS) bertindak gegabah (hell bent) dalam mempersiapkan invasi ke Irak. Bahkan, AS amat gencar menghalangi Inggris yang mencoba mendapatkan izin internasional menjelang invasi," ujar Jeremy Greenstock.
Greenstock juga menegaskan, Presiden AS, George W Bush, sama sekali tidak berniat mendapatkan sebuah mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai pendukung invasi. Bush gencar berkampanye bahwa Presiden Irak Saddam Hussein adalah sahabat Osama Bin Laden. Pada kenyataannya, malah keluarga Bush pernah menjalin hubungan dengan Osama Bin Laden," tegas Greenstock.
"Saat para diplomat dunia gencar mendapatkan mandat PBB pada awal 2003 untuk izin invasi ke Irak, orang-orang dekat Bush bahkan mempertanyakan mengapa untuk urusan invasi saja berbagai hal yang dianggap sebagai tetek bengek harus didalami. Bahkan Washington menggerutu. Di antara gerutu itu adalah celoteh AS soal upaya yang dianggap hanya buang-buang waktu. Kita memerlukan perubahan rezim, mengapa kita harus terpaku pada upaya ini, kita harus mengabaikan itu dan segera melakukan apa yang sudah direncanakan," kata Greenstock, mengenang gerutu orang-orang dekat Bush itu.
Lanjut Greenstock lagi, menjelang invasi, beberapa negara termasuk Jerman, Perancis, dan Kanada, masih berharap invasi AS itu bisa digagalkan. Bahkan orang-orang dekat Bush sudah sangat tidak acuh pada opini dan upaya internasional. Bahkan, Tony Blair (Perdana Menteri Inggris waktu itu) sudah tidak bisa menghentikan niat Bush. Hanya dalam dua minggu Blair mampu meyakinkan Bush. Momentum rencana Invasi AS sudah matang, jauh sebelum invasi. Ini sudah sulit dibendung. Saya sudah memperingati bahaya invasi jika tidak memiliki legitimasi. Bahkan saya pernah mengancam mundur dari jabatan saya jika izin internasional tidak didapatkan menjelang invasi," jelas Greenstock, yang memang tidak lagi menjabat sebagai Duta Besar pada 2003, tahun invasi ke Irak.
Ali Alatas adalah Menlu paling lama dalam sejarah RI. Ia menjadi Menlu dalam empat kabinet, semasa pemerintahan Presiden Soeharto (1987-1999). Namanya juga pernah dinominasikan untuk menjadi Sekjen PBB, oleh sejumlah negara Asia, pada 1996. Tugas terakhirnya, diusia 76 tahun, adalah merumuskan Piagam ASEAN (Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara). Pada saat naskah asli 13 Bab, 55 Pasal itu ditandatangani kesepuluh pemimpin ASEAN di Singapura, 20 November 2007, dia masih sempat menyaksikan. Sayangnya, pada saat diberlakukan, 15 Desember 2008, Ali Alatas telah mendahului kita, pada 11 Desember 2008.
Akhirnya kembali lamunan saya tentang Ali Alatas terhenti, ketika taksi yang membawa saya memasuki Kota Baghdad. Saya heran, jalan-jalan di kota itu tidak ada yang rusak, bangunan-bangunan gedung berdiri megah. Jika kita bayangkan peristiwa tanggal 17 Januari 1991, ketika AS dan sekutunya memborbardir Irak dengan 100 pesawat pembom mutakhir, tidaklah secepat itu perbaikan dilakukan. Jika diperinci, pada tanggal 17 Januari 1991, pukul 00.00 GMT, atau pukul 07.00 WIB, serangan dilancarkan ke seluruh Irak selama 19 jam. Pukul 06.35 GMT, atau pukul 13.35 WIB, serangan dilanjutkan lagi. Pada tanggal 17 itu saja, pasukan multinasional telah melancarkan 750 kali serangan, bahkan lebih.
Hari menjelang senja. Taksi yang membawa saya sampai di sebuah hotel bintang lima, Palestine Meridien, sebuah hotel yang ditunjuk Pemerintah Irak untuk saya. Hotel terletak di tengah-tengah jantung Kota Baghdad, di Jalan Sa'doun. Di tengah-tengah kota itu mengalir Sungai Tigris dan Euphrat, yang panjangnya masing-masing sekitar 1.718 dan 2.300 kilometer.
Memasuki hotel di masa damai, berbeda dengan di masa perang. Kita bisa saja tidur nyenyak, tetapi tetap juga waspada. Seorang pelayan berkebangsaan Sudan memberi tahu saya agar berhati-hati, dan jangan terlalu banyak bicara. Ingatan saya langsung ke negara-negara yang selalu memakai alat penyadap. Bahkan saking berhati-hatinya, banyak di antara mahasiswa Indonesia di Baghdad ingin bertemu, saya hanya bilang jangan di hotel, di luar saja, ujar saya. Sangatlah wajar saya berhati-hati, karena Pemerintahan Saddam Hussein saat itu sangat ditakuti. Apalagi saya ke Baghdad, setelah disetujui, dianggap sebagai undangan Kementerian Penerangan Irak. Dan hotel tempat saya menginap, juga mereka yang pilihkan, bukan saya pribadi. Jadi, begitulah. Maka kalau ingin tetap baik-baik saja, ya saya harus berhati-hati benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar