Kolom Komunitas
Kapitalisme Gagal, Dimana Pancasila?
Written by Dasman Djamaluddin
Wednesday, 08 February 2012
Foto: Dok. rri.co.idMungkin luput dari pengamatan kita,
bahwa pada tanggal 28 Januari 2012 lalu, kapitalisme digugat di Davos,
Swiss. Di negara ini sedang berlangsung Pertemuan Forum Ekonomi Dunia,
selama lima hari, yang dihadiri para otoritas keuangan dan pebisnis
seluruh dunia. Berbagai hal dikemukan di sana, terutama badai krisis
utang Zona Euro, yang beranggotakan 17 negara, dan resesi ekonomi
Amerika Serikat. Jika tidak diatasi sesegera mungkin, berdampak
timbulnya badai krisis di seluruh dunia, termasuk Indonesia.Pertemuan itu juga berlangsung di tengah-tengah ancaman Iran akan menutup Selat Hormuz, yang menjadi jalur vital bagi sekitar 40 persen minyak dunia. Jika semuanya terjadi, harga minyak akan melambung tinggi, yang pasti akan sangat memprihatinkan bagi perekonomian dunia.
Istimewa
Selama lima hari itu pula kapitalisme digugat. Kapitalisme tidak
mampu mengangkat harkat dan martabat warga dunia. Tetapi tidak ada
pilihan lain, Sistem Kapitalisme masih bisa digunakan, karena belum ada
pilihan lain setelah tumbangnya Sistem Sosialisme di berbagai belahan
dunia. Dalam hal ini, saya teringat akan kalimat-kalimat Burhanuddin
Mohammad Diah (B.M. Diah), yang bukunya sempat saya tulis (Butir-butir Padi B.M. Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman, pada tahun 1992), yang pada waktu itu sebagai Menteri Penerangan RI, di depan para perwira tinggi, Seskoad, Bandung:"Kebebasan berpikir cara liberalistis juga bukan ideal dari pada seorang Pancasilais seperti kita, karena ia memberikan kebebasan untuk memeras manusia oleh manusia (Kapitalisme) dan memberi kebebasan untuk memberi cap inferiority pada sesuatu bangsa oleh bangsa yang lain (Rasialisme). Kebebasan yang diikrarkan oleh Pancasilais adalah kebebasan yang dibatasi dengan akal budi yang berjalan di jalan yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa, kebebasan yang berbudaya (cultures freedom)."
Kalimat ini memberi arti pada kita, bangsa ini terpaksa mengikuti pola-pola yang dimainkan dua kekuatan sistem dunia, sosialisme dan kapitalisme, karena kita tidak mampu mengembangkan pola pemikiran alternatif ke hadapan masyarakat dunia. Seandainya saja bangsa ini mampu mengetengahkan pilihan Pancasila sebagai sebuah sistem baru, maka alangkah baiknya. Kita berhenti di tengah jalan untuk mengetengahkan di tengah-tengah peradaban dunia, termasuk di Indonesia sendiri.
IstimewaJika
kita bayangkan bagaimana para pendiri republik ini telah menuangkan
pemikiran-pemikiran briliannya, tidak sulit bagi bangsa ini
mengetengahkan model peradaban baru, Pancasila sebagai alternatif.
Sayang yang kita contohkan ke hadapan dunia adalah kemelut yang
berkepanjangan di bidang korupsi, karena kita lebih tertarik memakai
pola pikiran orang lain. Menurut saya, selama kita tetap menerapkan pola
pemikiran kapitalisme, Pancasila yang kita dengung-dengungkan hanya
sebagai sebuah mimpi. Di masa Soeharto, terlepas dari masalah lain,
masih ada Badan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila menjadi sebuah
lembaga tersendiri, meski pada akhirnya tujuannya tidak sebagaimana
diharapkan. Tetapi sekarang?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar